Penyatuan Irian Jaya ke wilayah Indonesia melewati jalan yang terbilang panjang. Mulai dari upaya diplomasi, aksi militer, hingga pemberian opsi. Prosesnya paling tidak memakan waktu sekitar 20 tahun. Itu pun belum termasuk waktu penstabilan keamanan akibat rongrongan yang terus-menerus.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Belanda berjanji, dalam waktu setahun, Irian Jaya akan dikembalikan ke Indonesia. Tetapi belakangan, Belanda malah mengiming-imingi kemerdekaan itu kepada rakyat Irian dengan nama Negara Papua. Bahkan melalui forum PBB, bulan September 1961, Belanda berniat menjadikan masalah Irian sebagai masalah dekolonisasi. Tapi, usaha itu berhasil digagalkan delegasi Indonesia di PBB.
Perjuangan membebaskan Irian kemudian menjadi program pemerintah Indonesia sejak terbentuknya Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950). Diharapkan ketika itu, masalah Irian dapat diselesaikan secara damai pada tahun 1950. Namun, gagal. Kabinet berikutnya, Natsir, (6 September 1950-27 April 1951) juga mengagendakan agar masalah ini terselesaikan pada tahun yang sama. Tapi lagi-lagi gagal. Dalam kabinet-kabinet berikutnya pun, seperti Kabinet Sukiman, Wilopo, Ali-Wongso, dan Kerja, pembebasan Irian masih menjadi prioritas.
Barulah pada jaman Kabinet Ali Sastroamidjojo (24 Maret 1956-14 Maret 1957) pembebasan Irian ini menjadi program kedua. Sebagai realisasinya, pada 17 Agustus 1956, Kabinet Ali membentuk Propinsi Irian Barat dengan ibu kota Soa Siu di Tidore. Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah, pun diangkat sebagai gubernur. Kemudian, untuk menggalang kesatuan gerak pembebasan Irian Barat, dibentuklah Front Nasional Pembebasan Irian Barat pada tanggal 10 Februari 1958. Front ini disambut Belanda dengan memperkuat angkatan darat, laut, dan udaranya di Irian.
Lalu, pada tanggal 17 Agustus 1960, kesal dengan sikap Belanda, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik. Dan sejak itu pulalah, ABRI (kini TNI-red) serius melakukan persiapan pembebasan Irian. Akibatnya konflik diantara kedua negara semakin meruncing. Apalagi ketika Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depernas), tanggal 11 Desember 1961. Depernas ini kemudian mengusulkan dibentuknya Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat.
Depernas juga menyusun teks Tri Komando Rakyat (Trikora) yang disampaikan Presiden Soekarno pada rapat raksasa di Alun-alun Utara Yogyakarta, 19 Desember 1961. Ke-3 isi Trikora itu: (1) Menggagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial; (2) Mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Irian Barat; (3) Mempersiapkan mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan bangsa. Bahkan juga diusulkan pembentukan Propinsi Irian Barat dengan mengangkat putra daerah sebagai gubernur.
Sementara itu, langkah militer yang pertama adalah pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, pada 2 Januari 1962. Brigjen Soeharto menjadi Panglima Komando Mandala, Kolonel (Laut) Soebono dan Kolonel (Udara) Leo Wattimena sebagai Wakil I dan II Panglima Komando serta Kolonel Achmad Tahir sebagai Kepala Staf Gabungan Komando Mandala.
Selanjutnya, antara Maret dan Agustus 1962, dilakukan serangkaian operasi pendaratan pasukan, melalui laut dan udara. Sebut saja, misalnya, Operasi Banteng di Fak-fak dan Kaimana, Operasi Serigala di sekitar Sorong dan Teminabuan, Operasi Naga di sekitar Merauke, dan Operasi Jatayu di Sorong, Kaimana, dan Merauke. Di samping itu, direncanakan pula penyerangan terbuka ke Irian, dengan nama Operasi Jayawijaya. Untuk melakukan serangan ini, Angkatan Laut Mandala di bawah pimpinan Kolonel Laut Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17.
Namun sebelum Operasi Jayawijaya digelar, tercapai kesepakatan antara Indonesia-Belanda di Markas PBB New York, tanggal 15 Agustus 1962. Kedua pihak sepakat, pengembalian Irian akan ditetapkan berdasarkan Resolusi PBB yang dikenal sebagai Perjanjian New York (New York Agreement). Isinya: Belanda menyerahkan Irian melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Perjanjian New York ini juga mengamanatkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang ditawarkan kepada penduduk setempat. Mereka disuruh memilih antara tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau berpisah.
Akhirnya, mulai tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, Pepera dilangsungkan. Peristiwa ini disaksikan utusan PBB, Ortis Sanz. Hasil Pepera menyatakan, rakyat Irian Barat meimilih bergabung dengan NKRI. Hasil ini kemudian disahkan PBB tanggal 19 November 1969 melalui Resolusi PBB Nomor 2504. Kini, bangsa Papua berniat membatalkan pilihan masa lalunya. Sebenarnya boleh-boleh saja, asal memang merupakan pilihan terbaik bagi mereka. Sebab terlalu banyak bukti, pemisahan diri secara paksa sering berujung pada penumpahan darah rakyat tak berdosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar